Minggu, 15 Desember 2013

Maneges Gunung, Mempercepat Dialektika Toynbee



             Identitas sebuah bangsa dirumuskan, dan harus terus-menerus dirumuskan ulang dalam pergulatan. Ia bukan jatuh dari langit (gifted). Di sanalah, aktivitas intelektual (dan kerohanian) maneges, terus-menerus dilakukan.
            Pilihan tajuk kegiatan “Maneges Gunung--Temu Komunitas Lima Gunung”—sepenuhnya rumusan Ki Jowongso Sumimpen, nama sepuh Sutanto Mendut (Presiden Lima Gunung), dan kawan-kawannya untuk kegiatan yang akan meliputi pergelaran kesenian, diskusi kebudayaan, dan pameran yang berlangsung 17-23 Desember 2013 di Bentara Budaya Jakarta. 
Ki - Ka Khoirul (Irul) Pengerajin Topeng - Parmadi Dekorasi Panggung - Mami Kato Lukisan Kanvas - Nugroho Lukisan Kaca dan Kanvas - Sujono Topeng Saujan, Wayang Saujana, Lukisan Kanvas, Patung dan kerajunan lainnya - Pangadi (Ipang) Lukisan Kanvas  
Komunitas Lima Gunung adalah komunitas warga desa penggiat kesenian dan kebudayaan di sekitar Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yaitu kawasan Gunung Merapi (diketuai Sitras Anjilin), Merbabu (ada dua komunitas diketuai masing-masing Riyadi, dan Sujono), Andong (diketuai Supadi Haryanto),  yang sejak dua tahun lalu sekaligus sebagai Koordinator Komunitas Lima Gunung), Gunung Sumbing (ketuanya Ipang), dan Pegunungan Menoreh (ketua Ki Jowongso Sumimpen alias Tanto Mendut merangkap Presiden Lima Gunung).
Mengapa harus terus dirumuskan ulang, karena perubahan masyarakat dan lingkungan fisik alam semesta—adalah “mesin fenomena” yang akan menggiling dan memroses, serta mengendorkan, bahkan merontokkan sekrup-sekrup nilai, entitas, dan kecenderungan kebudayaan manusia. Nyaris tak pernah terjadi penguatan suatu lingkungan kebudayaan dan kebudayaan massa yang dominan berlangsung secara gratis tanpa effort. Pencipta dan pelaku kebudayaan bersangkutan, niscaya selalu merupakan agen-agen perubahan yang agresif merumuskan dirinya,  dan produktif menjawab tantangan dan mengantisipasi perubahan semesta tadi.
Budayawan Prof Dr Soedjatmoko, sudah mengingatkan tentang kesadaran kebudayaan itu sejak tahun 1980-an. Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984). Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984).
Rumusan mutakhir negeri China misalnya, ialah negeri yang berdiri di dua kaki. Kaki pertamanya ialah negara peradaban Konfusianistik yang berkeyakinan bahwa kemuliaan negara bergantung pada kesejahteraan rakyat penduduknya. Kaki kedua China, ialah negara bangsa kapitalistik, jawaban atas perubahan geopolitik dan interdependensi perekonomian global.
            Peringatan Soedjatmoko itu sinkron dengan hipotesa Arnold J Toynbee, sejarawan Inggris yang kondang: keberhasilan sebuah peradaban, ditentukan oleh bagaimana masyarakat merespon tantangan di bawah kepemimpinan creative minority. Peradaban akan runtuh jika kelompok pemimpin berhenti memberi respon kreatif. “Challenge and response” itulah kuncinya, kata Toynbee. Response  dalam tahapnya yang paling awal ialah kegiatan refleksi (mesu budi alias laku asketik) untuk masuk pada tahapan identifikasi, dan perumusan. 
            Refleksi kultural sebagai bangsa secara nasional yang dibayangkan Soedjatmoko, atau prosedur akademis Toynbee dalam rumusan “challence and response”, dalam bentuknya yang kontinyu namun kurang terstruktur sebenarnya berulang-ulang terlihat dalam praksis dan pergulatan Komunitas Lima Gunung di bawah Ki Jowongso Sumimpen ini, sejak komunitas ini bergerak secara lebih teroganisir tahun 2000 silam, disusul Festival Tiga Gunung (kemudian menjadi Lima Gunung) dilaksanakan pertama kali tahun 2002. Selain pergulatan tiada henti dalam berbagai cabang kesenian dan problem lokal di masing-masing komunitas mereka, para anggota Lima Gunung dengan moderator dan fasilitator Sutanto Mendut menurut kami telah memasuki tahapan refleksi dan laku asketik untuk mengidentifikasi, dan merumuskan ulang strategi komunikasi dan dialog dengan publik dan diri mereka sendiri. Kursus mengurus keterampilan manajemen pertunjukan, manajemen pertanian, seloroh dan diskusi perselingkungan dalam keluarga dan problem-problem sosial pedesaan, dialog agama, sampai kursus Bahasa Jepang, dan Bahasa Inggris.
            Meskipun—sekali lagi “silabus” kegiatan maneges (refleksi) dan gugatan atas diri sendiri dari Komunitas Lima Gunung—dilaksanakan dengan tanpa pola dan tanpa target--, dalam enam tahun terakhir misalnya etos kerja tepat waktu, dan kemandirian (pentas tanpa sponsor, mantenan menolak sumbangan), menolak kooptasi kesadaran dari penguasa, adalah sejumlah contoh pergulatan yang sungguh-sungguh diterjuni bersama oleh Komunitas Lima Gunung.
              Meski demikian, kami tak berharap Komunitas Lima Gunung sebagai pencipta dan pelaku kesenian yang telah ikut menentukan ciri khas suatu lingkungan budaya, bisa menjawab tantangan dan tuntutan kebangsaan baru lewat kreativitas mereka. Tantangan itu, boleh jadi bukan kewajiban Lima Gunung, sebab tidak ada yang wajib kecuali negara yang harus melakukannya.
            Yang ingin kami garis bawahi, Komunitas Lima Gunung, dengan kegiatan kebudayaan mereka jalankan telah mempercepat dialektika sistem nilai, pandangan hidup, bahkan konsep artistik  yang sebenarnya telah mereka miliki secara begenerasi di lingkup mereka masing-masing. Percepatan dialektika itulah maneges: , mempertanyakan jatidiri dalam refleksi yang modelnya ialah ekspresi kesenian, dan praktek kehidupan nyata dengan panduan nalar dan wawasan yang kreatif.
            Hipotesa Toynbee dan Soedjamoko, boleh jadi terus dan sedang berlangsung di Komunitas Lima Gunung yang tak terduga ini. Gunung lain yang ikut nyumbang berdialektika, ialah Gunung Fujiyama di Jepang—rumah budaya Mami Kato (istri Sutanto Mendut yang berasal dari Jepang) yang tak mau kalah bergulat dan berkiprah di desa-desa Magelang itu..
                                                                       
                                                                        Jakarta, 17 Desember 2013
                                                                        Hariadi Saptono
                                                                        Direktur Eksekutif Bentara Budaya   

Jumat, 19 April 2013

Kesenian itu...

Wenti Nuryanti, M.Pd
Seni dalam Komunitas Lima Gunung, kendati berakar pada bentuk-bentuk kesenian rakyat, namun tidak terbelengggu pada pakem-pakem dasar. Bukan saja karena dalam komunitas ini juga bercokol para akademisi kesenian, seperti Wenti Nuryanti Dosen pendidikan seni tari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rakhmad Murti Waskito Dosen pendidikan seni tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, Noviana Ayomsari mahasiswi Intitut Seni Indonesia, Surakarta yang acapkali juga melakukan pengembangan-pengembangan dari pakem yang ada, namun juga lingkungan kreatif yang ditanamkan Sutanto Mendut memungkinkan para pelaku kesenian di komunitas itu bebas menabrak batas-batas kesadaran kreatif, atau merdeka. setahun belakangan ini Sutanto bahkan dengan sadar mencoba memasukan lingkungan baru yang di serap dari genre seni yang berbeda dari
Penyair Dorothea Rosa Herliyani berbaur di komunitas ini dan bagi para seniman yang sesungguhnya tak asing denga puisi yang mereka serap dari tembang dan sastra jawa hal ini adalah keasyikan baru yang tanpa rikuh dengan mudah mereka selami. lingkungan mereka selama ini yaitu puisi.

Rakhmad Murti Waskito                                                                             Noviana Ayomsari

Apa yang akan terjadi dengan tahun-tahun mendatang, tentu merupakan bagian yang sungguh menarik untuk di tunggu. Apa sesungguhnya komunitas seniman Lima Gunung itu? ini pertanyaan yang selalu muncul selama sekitar 15 tahun para seniman

Rabu, 17 April 2013

Bebrayan Lintas Dunia

Suran di Ponpes API Tegalrejo, Magelang
Komunitas yang mayoritas petani ini berkesenian tanpa memandang apa yang mereka lakukan sebagai laku sakral. karena itu mereka tidak pernah berbatasan dengan sekat apapun untuk mengekspresikan keseniannya dengan total. mereka bisa tampil di depan istana presiden dan monumen kenegaraan, berbaur dengan kalangan pesantren seperti yang sering mereka lakukan di Pondok Pesantren API Tegalrejo milik Gus Yusuf. Kesenian mereka juga menjadi menu dalam even besar di acara 100 tahun Seminari,
Mertoyudan, di saat lain tampil juga di pembukaan gedung Salihara yang mengundang tokoh-tokoh seniman dan budayawan. Secara rutin tiap momen tahun baru, misalnya sudah jadi keharusan mereka pentas di Amanjiwo Resort, Borobudur. Beberapa event tingkat Internasional yang pernah diikuti :

Borobudur International Festival, Borobudur 2009
- Pertemuan APD (Asian People Dialogue) di Cibubur, Jakarta tahun 2002 pesertanya dari negara Thailand, India, Srilangka, Malaysia, Philipna, Nepal, Pakistan, Jepang, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Indonesia.
- Pentas Kesenian Gelung Gunung pada Solo International Ethnic Music Festival (SIEM) pada tahun 2008 di Benteng Vastenburg pesertanya seperti Amerika Latin, Afrika, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Barat, Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Solo International Performing Art, Solo 2010
- Simfoni Gunung ikut menutup pergelaran Borobudur International Festival (BIF) 2009. tujuh negara yang terlibat adalah India, China, Laos, Thailand, Polandia, Jepang, dan Korea Selatan.
- Solo International Performing Art (SIPA) 2009 di dalam acara ini Komunitas Lima Gunung mengikutinya dua kali yang pertama Komunitas Atas Bumi Bawah Langit (ABBAL), Muntilan. Negara peserta SIPA Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Philipina, Denmark, Singapura, Jepang, dan Venezuela dan untuk yang kedua Solo International Performing Art (SIPA) 2010 Komunitas Wargo Budoyo, Magelang peserta dari luar negeri melibatkan 7 negara yaitu Austria, Malaysia, Jerman, Timor leste, Mexico, India dan Jepang.


Festival Penyair Internasional Indoesia (FPPI), Gejayan, Merbabu 2012


Beberapa event Sastra seperti Festival Penyair Internasional Indoesia (FPPI) 2012, Borobudur Writers and Cultural Festival Internasional Indonesia, Komunitas Lima Gunung bukan sekedar kumpulan seniman yang bergumul dengan seni tradisional mereka boleh jadi berangkat dari bentuk yang pakem, namun berkat kecerdasan mereka maka berbagai pengembangan dilakukan bersamaan dengan keharusan merespon momentum. Dan mereka tidak sekedar merespon, tetapi kultur bebrayan mereka yang cenderung dekat dengan olah pikir yang sederhana namun 'Jero" (dalam) memungkinkan mereka dengan cepat mampu membangun wacana makna yang terkadang mengejutkan dalam ekspresi kesenian mereka, tak heran komunitas ini mampu menembus berbagi kalangan dari penonton awam sampai penonton level tinggi. para seniman mampu berbaur dengan kalangan apapun, dan mereka tak grogi untuk menyapaikan pertanyaan maupun pertanyaan cerdas.
Kultur bebrayan model masyarakat  desa pegunungan dan kesadaran untuk menjalani laku bergaul yang terus menerus didesak pertumbuhan gaya hidup terasa menciptakan atsmofer berkehidupan budaya yang hangat, dengan prinsip "luru Kabahagyan" (mencari kebahagiaan).
Bebrayan merupakan sebuah atmosfer pergaulan yang mengandung filosofi yang dalam tentang persaudaraan. Inilah yang tidak sekedar di bentuk di komunitas ini, melainkan sudah ada ketika niat bebrayan itu masih dalam angan-angan. Seni kadang menjadi tidak terlalu "penting" ketika kebutuhan untuk beberayan itu menggerakan hasrat untuk saling bertemu dan berkumpul. Namun ketika respon terhadap tanggapan-tanggapan memainkan kesenian itu tiba waktunya, secara bawah sadar "manajemen universal" tetap berlaku, dan tidak menjadi sistem yang berlaku ketat. Sebab yang terjelas adalah bahwa laku berkesenian itu di depan publik menjadi suatu keharusan yang harus di pertanggungjawabkan.
Boleh jadi, inilah model komunitas kesenian masyarakat pedesaan yang beraroma modern dalam arti lentur oleh pergerakan jaman dan mampu mencari tempat yang tepat ditengah arus kebudayaan global. Jangan-jangan, ini satu-satunya di Indonesia. 





Nanyang Technological University (NTU), Singapore. College of Humanities, Arts, & Social Sciences. School of Art, Design and Media
Mike Burns (Australia) mempertunjukan keahliannya bermain gamelan dan gitar di Studio Mendut  Foto: Kompas/Regina Rukmorini


Festival Lima Gunung


Festival Lima Gunung digelar para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung setiap tahun dengan lokasi yang berpindah-pindah di dusun-dusun kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Pemberitaan Festival Lima Gunung VIII
- Festival pertama dan kedua pada 2002 dan 2003, di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, kawasan Gunung Merbabu, 
- Festival ketiga pada 2004 di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, kawasan Gunung Merbabu. 
- Festival keempat pada 2005 di Dusun Petung Kidul, Desa Petung, Kecamatan Pakis, kawasan Gunung Merbabu.              
- Festival kelima pada 2006 di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, kawasan Gunung Merbabu.
Festival Lima Gunung IV, Petung, Merbabu 2005


- Festival keenam pada 2007 di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, kawasan Gunung Sumbing.
 
Festival Lima Gunung VI, Krandegan, Sumbing 2007
 - Festival ketujuh pada 2008 di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, kawasan Gunung Merapi, 
- Festival kedelapan pada 2009 di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, kawasan Gunung Andong.
Festival Lima Gunung VIII, Mantran, Andong . Minggu, 26 Juli 2009
 - Festival kesembilan pada 2010 dipusatkan di Studio Mendut,  Mendut I, Kecamatan Mungkid, masuk kawasan Pegunungan Menoreh, namun sejumlah lokasi lainnya juga dijadikan tempat kelompok ini untuk menggelar agenda seni budaya. Pembukaan festival kesembilan ini secara khusus di Puncak Suroloyo, Pegunungan Menoreh, perbatasan antara Kabupaten Magelang, Jateng dengan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pembukaan Festival Lima Gunung IX , 2010. Foto: Raditya Mahendra Yasa, Foto terbaik Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2011
- Festival kesepuluh pada 2011 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, kawasan antara Gunung Merapi dengan Merbabu.
Festival Lima Gunung X , 2011 Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan

- Festival kesebelas pada 2012 di dua lokasi yakni Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, kawasan Gunung Sumbing dan Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, kawasan  Gunung Merbabu.
Penentuan hari dan lokasi dusun untuk festival dengan berbagai rangkaiannya dilakukan secara musyawarah oleh para tokoh Lima Gunung. Pertemuan persiapan menuju penyelenggaraan festival berlangsung di berbagai tempat, secara berpindah-pindah di rumah para tokoh.Sejak festival pertama hingga keempat, pihak pengelola Hotel Amanjiwo Borobudur menjadikan ajang itu sebagai agenda pariwisata mereka, untuk mendatangkan turis mancanegara sejak setahun sebelum hari festival.Sedangkan festival kelima dan keenam, oleh para tokoh dijadikan ajang merintis kemandirian penyelenggaraan, melalui pengajuan bantuan kepada berbagai pihak sponsor dan donatur. Pada festival ketujuh dan kedelapan, meskipun masih mengajukan proposal kepada sponsor dan donatur dalam skala terbatas, pihak panitia penyelenggara bersama komunitas masing-masing, sudah memulai iuran untuk mencukupi berbagai kebutuhan festival.
Festival Lima Gunung XI Krandegan, Sumbing 2012
Mulai festival kesembilan, komunitas ini bersepakat untuk secara murni menggelar ajang tahunan itu secara mandiri. Mereka memproklamasikan diri bahwa penyelenggaraan Festival Lima Gunung selanjutnya tidak lagi melibatkan sponsor, donatur, pengusaha, maupun pemerintah.
Komitmen pendanaan festival oleh mereka secara mandiri komunitas itu, ditandai dengan pembubuhan tanda tangan para tokoh Lima Gunung di tanah panggung terbuka Studio Mendut. Agenda tahunan dengan beragam  tema itu selalu diawali dengan kirab kesenian, melibatkan puluhan hingga ratusan seniman petani komunitas, dengan melewati jalan-jalan dusun yang menjadi pusat festival. 
Selanjutnya mereka menandai dimulai puncak festival dengan pemukulan gong oleh para tokoh KLG, dan kemudian pementasan berbagai kesenian oleh setiap komunitas. Berbagai kesenian yang dipentaskan makin berkembang, tak lagi sebatas kesenian tradisional dari berbagai kelompok-kelompok seniman petani dan penyelenggaraan tradisi ritual dusun, tempat lokasi festival.

Festival Lima Gunung XI, Krandegan, Sumbing 2012
Festival-festival berikutnya telah pula mencakup kegiatan budaya lainnya, seperti diskusi kebudayaan, pidato kebudayaan, peluncuran buku tentang budaya, pameran foto seni budaya, pembacaan sastra, pementasan teater dan musik kontemporer, serta pentas performa kolaborasi. Penyelenggaraan festival yang awalnya hanya sehari, pada tahun-tahun berikutnya didinamisasi menjadi beberapa hari, bahkan hingga sebulan.
Meskipun puncak festival telah ditentukan di satu dusun di antara lima gunung itu, akan tetapi pada rangkaian penyelenggaraannya bisa dikemas menjadi beberapa lokasi, sesuai denga musyarawah para tokoh. Mereka juga menentukan puncak hari festival berdasarkan kearifan lokal dan penanggalan Jawa. 
Ribuan warga dari dusun-dusun di kawasan gunung khususnya yang menjadi lokasi festival, datang berduyun-duyun untuk menyaksikan puncak hari festival itu. Para seniman, budayawan, pemerhati lintas ilmu dari kota-kota lain di Indonesia dan luar negeri, seakan tak melewatkan puncak festival itu untuk menyaksikannya.
Begitu pula wartawan dari media massa dalam dan luar negeri, serta para fotografer menjadikan festival itu sebagai arena liputan dan pengambilan foto serta video, baik untuk pemberitaan maupun untuk dokumentasi atas gerakan kebudayaan petani dusun dan gunung.

Festival Lima Gunung XI, Gejayan, Merbabu 2012
Ajang festival tahunan itu, bahkan menjadi pasar dadakan karena dimanfaatkan oleh para pedagang kaki lima berasal dari berbagai tempat, khususnya dari desa-desa di sekitar lokasi festival, untuk menggelar dagangan mereka, seperti mainan anak, pakaian, makanan, dan minuman, serta suvenir.
Para tamu berasal dari kota-kota lain, bahkan menginap di rumah-rumah warga gunung yang sedang menjadi lokasi festival, untuk menikmati suasana gunung, bertepatan dengan hari festival. Warga setempat menyediakan secara gratis tempat mereka untuk menginap para tamu festival.
Sejumlah seniman secara individual maupun dengan komunitas keseniannya dari kota-kota lain di Indonesia dan luar negeri yang sebelumnya telah menjalin relasi dengan Lima Gunung, dalam perkembangannya memanfaatkan Festival Lima Gunung untuk turut menggelar karya mereka. Festival Lima Gunung secara khusus menjadi ajang pertemuan tahunan para seniman petani Lima Gunung, untuk bersilaturahim dalam kemasan dan nuansa kebudayaan lokal mereka.

Komunitas Gunung Menoreh

Sutanto Mendut
Studio Mendut
Desa Mendut I, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang

Komunitas ini di dirikan dengan membangun sebuah paradigma berkesenian yang menstimulasi dimensi untuk hidup bersama masyarakat seni dalam menyikapi keadaan dengan pelbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat kontemporer. Studio Mendut mengedepankan unsur merdeka yang dapat menarik perhatian masyarakat dan pemerhati seni yaitu dengan membuka wacana baru dalam bereksplorasi. Studio Mendut yang juga tempat tinggal Presiden Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut adalah sebuah ruang terbuka yang sesungguhnya adalah tempat bermuaranya semua hal ikhwal yang kemudian mengantar keberadaan Komunitas Lima Gunung. Tempat ini sekaligus ruang untuk berekspresi kebudayaan dan tentu saja juga kesenian yang tidak melulu dalam frame yang baku. Di sini pernah lahir Konggres kebudayaan Sedunia, dan tentu saja juga tempat berseliweran tokoh-tokoh dan juga pikiran-pikiran serta gagasannya. Studio Mendut adalah ruang tumbuh, maksudnya adalah tempat terbuka bagi semua ide  ekspresi kreatif, sekaligus tempat belajar yang tak jarang melahirkan sesuatu yang besar. Diluar Festival Lima Gunung, seniman-seniman yang bernaung di Komunitas Lima Gunung menggunakan Studio Mendut ini sebagai ajang mementaskan karya-karya mereka. Pementasan hampir dilakukan dalam jarak waktu yang tak terlalu panjang. Studio yang sederhana ini memang sangat representatif untuk mementaskan kesenian berbagai Genre.

Nama-nama lokasi di Studio Mendut 
"Sendang Pitutur" tempat ini biasa digunakan sebagai tempat pembelajaran, ruang rapat, pemberian materi workshop, sarasehan, atau diskusi dan di gunakan sebagi tempat pementasan dengan kapasitas  orang yang tak begitu banyak
Sendang Pitutur
 "Taman Metamorfosa", penataan dari lokasi ini selalu saja berubah-ubah menyesuaikan dekorasi pementasan yang diadakan. Di tempat ini digunakan untuk pementasan yang melibatkan penonton cukup banyak. Bentuknya proscenium bagian kanan kirinya tak di batasi tembok melainkan pohon-pohon dan tanaman-tanaman atau disebut sebagai taman, pada bagian atasnya terbuka langsung menerawang ke langit.
Taman Metamorfosa
"Museum Kali Wangsit", tempat ini memang telah di siapkan oleh Sutanto suatu saat bisa digunakan sebagai Museum bisa di dirikan suatu bangunan atau entah apa tergantung pada wangsit pada saatnya nanti, lokasinya persis di pinggiran kali Pabelan Mati 

Museum Kali Wangsit


STUDIO MENDUT
Para seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung mengintensifkan pemanfaatan Studio Mendut itu sebagai pusat gerakan dan olah pemikiran berbasis kebudayaan dusun yang mereka jalani. Studio itu terletak di Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur di kawasan Pegunungan Menoreh, Kabupaten Magelang atau sekitar 300 meter timur Candi Mendut. Pusat informasi dan pusara gerakan kebudayaan baik secara internal komunitas maupun dengan relasinya di berbagai kota di Indonesia dan negara lain terletak di Studio Mendut yang dipimpin budayawan Magelang, Sutanto Mendut. Tempat ini, selain berupa sejumlah ruangan terbuka terutama untuk berkumpul dan bermusyawarah, juga panggung terbuka untuk pementasan kesenian dengan properti seperti beraneka patung dan lukisan kaca, barang-barang seni, dan instalasi seni lainnya. Di areal alam, bagian belakang kompleks studio itu, tepatnya di tepi aliran Kali Pabelan Mati (bekas aliran banjir lahar Gunung Merapi pada masa lampau) telah diresmikan oleh Komunitas Lima Gunung sebagai "Museum Kali Wangsit".