Sabtu, 30 Agustus 2014

Tradisi Pesta Komunitas

"Seto Kencono" Sanggar Wonoseni, Wonolelo, Sumbing. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
          
          Festival Lima Gunung XIII adalah festival kesenian tahunan yang digiati Komunitas Lima Gunung. Pada 23-24 Agustus 2015, setelah sekian tahun batal melulu, saya akhirnya bisa menyaksikan langsung riangnya warga desa merayakan kesenian. Buat saya, inilah festivus yang sebenarnya: tradisi pesta komunitas. Ia ada dan diadakan untuk komunitasnya, para penghayat kebudayaannya. Di sini, orang luar adalah tamu, bukan calon konsumen. Setiap orang diperlakukan setara, termasuk Wakil Presiden Boediono yang dibiarkan duduk lesehan di tanah berbaur bersama penonton lain pada pelaksanaan festival di tahun-tahun sebelumnya.

          Komunitas Lima Gunung adalah paguyuban warga beberapa dusun yang tinggal di daerah yang dikelilingi 5 gunung di Magelang, Jawa Tengah (Merbabu, Merapi, Sumbing, Andong, dan Menoreh). Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, sambil melakukan kesenian di kelompoknya masing-masing di tiap dusun. Komunitas ini diinisiasi oleh Sutanto Mendut. Ketika pertama kali saya berkenalan di rumahnya pada 2009, Pak Tanto bicara dari jam 5 sore hingga 6 pagi keesokan harinya. Tanpa henti. Pembicaraan berhenti karena saya akhirnya memberanikan diri untuk memberitahu jam saat itu. Saya hampir menangis bahagia ketika akhirnya bisa tidur.

          Festival ini menolak sponsor. Sitras Anjilin, pemimpin sanggar Tutup Ngisor, mengatakan pada saya alasannya, “Ya, karena kami merasa kuat, jadi tak perlu sponsor.” Saya sungguh belajar banyak dan bahagia berada di festival ini. Sementara itu, seniman metropolitan yang wara-wiri masuk media dan festival internasional, masih saja mengeluh soal ketidakberpihakan negara—walau ini benar.

         Hal lain yang penting buat saya adalah, festival ini akan menjadi perangsang bagi munculnya ide dan bentuk kesenian baru di masing-masing dusun.
Komunitas Lima Gunung, hormat dan salut saya belum putus sampai hari ini.

Roy Thaniago
Direktur Remotivi
https://www.facebook.com/roy.thaniago

Tari Dayak, SMA Bakti Karya, Magelang Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
Kerumunan Penonton dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
Kerumunan Penonton dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Seto Kencono" Sanggar Wonoseni, Wonolelo, Sumbing. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Kuda Lumping" Sanggar Andong Jinawi, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kec. Ngablak, Andong. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Kuda Lumping" Sanggar Andong Jinawi, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kec. Ngablak, Andong. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Ndayakan" Macan Ireng, Salaman. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Soreng Putri" Polres Magelang. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Gladiator Gunung" Padepokan Wargo Budoyo, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kec. Pakis, Merbabu. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago
"Gladiator Gunung" Padepokan Wargo Budoyo, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kec. Pakis, Merbabu. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014. Foto Roy Thaniago




Kamis, 28 Agustus 2014

Para Ksatria

Kesenian Grasak Bocah dari Dusun Petung, Desa Petung, Kecamatan Pakis, Merbabu. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014.
       
          Reportase Mba Regina di kolom nusantara Kompas pagi ini saya rasa berhasil menyimpulkan berbagai hikmat dari kumpulan kejadian yang saya alami seminggu belakangan. Tentang keprihatinan atas tatanan antropologis psikologis sosial yang carut marut di mandala-mandala inti dari bumi Shambara sampai bundaran HI. Tentang kegelisahan yang terusik akibat hadiah dari filsuf kerakyatan pengusung hidup mbambung http://kenduricinta.com/v4/pusaka-satria/. Tentang makna dari pusaka dan jalan ksatria.

          Festival Lima Gunung 13 seolah menjadi show case kepada saya atas best practice dari apa itu kebudayaan dan manusia berbudaya. FLG sesuai temanya sudah mengajak saya bersama para peserta lainnya untuk Topo ing rame. Belajar dari kebahagiaan alamiah para seniman yang berduyun-duyun dari segala penjuru tanpa dibayar untuk tampil layaknya di gemerlap panggung yang dlm ukuran orang jamak kerap diasosiasikan dengan kerja. Belajar dari keikhlasan dan keterbukaan warga desa Warangan di sudut kaki Merbabu untuk menerima berbagai jenis tamu dan ikut larut dalam raya festival. Belajar dari kebersahajaan punggawa-punggawa lima gunung yang ringan tangan tanpa itungan rupiah maupun selembar proposal, apalagi ego sektoral, ringan tangan dan ringan mulut mengajak semua urunan menyiapkan melangsungkan festival. Sungguh saya bersaksi, orang-orang ini adalah para makelar kebaikan.

          Bahwa FLG ada untuk membuat penampil penyelenggara dan pemirsa ikut berbahagia; tanpa ada batasan usia status gender apalagi sentimen sukuisme dan agama. Sesederhana itu pula makna dari berbudaya. Budaya adalah roh, adalah tata nilai, adalah proses keseharian, adalah kepercayaan yang membentuk interaksi. Budaya bukan hasil industri sektor tertentu, bukan pula komoditas yang direduksi sekedar mendukung tata kuasa tertentu. Bahwa empan papan berantakan sudah terlanjur menjadi jamak, segala unsur flg 13 menjadi sesuatu yang ora usum.

          Sebagaimana pesan eyang kakung kyai wongsogunung, seharusnya semua sederhana saja, yg penting bahagia, pariwisata pun kesenian adalah cara, jumlah turis-devisa-pamor adalah ikutan saja; kebudayaan-tata nilai dan ukuran itu intinya. Tata nilai ini yang menghasilkan pusaka-borobudur, tata kota, gamelan, batik, dll. Jauh-jauhlah dari stigma warisan, karena pusaka ini buat dijaga, bukan dibagi habis dan diperas hasilnya buat dipamer-pamerkan.

        Sementara buat saya pribadi, sebagaimana 5 gunung melingkari dan melindungi Borobudur; para penghuni 5 gunung ini yang menjaga saya-mengingatkan saya atas apa hukum, hikmat, dan ikutan. Mereka adalah sanak kadang saya. Yang menjaga saya tanpa peduli saya siapa. Menjadi bagian dr Malioboro saya, mengantarkan saya (semoga) menuju pangurakan.

          Sudah, cukuplah ndobos saya pagi ini. Sebagai seorang yang dituntut menjadi ksatria tapi dengan sistem sudra yang serba kagok dan gelisah dan kipit-kipit, racauan saya pasti banyak salahnya. Jangan dipercaya. Percaya cukup sama Tuhan saja.

Lailly Prihatiningtyas
Dirut PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (TWCBPRB)

Minggu, 15 Desember 2013

Maneges Gunung, Mempercepat Dialektika Toynbee



             Identitas sebuah bangsa dirumuskan, dan harus terus-menerus dirumuskan ulang dalam pergulatan. Ia bukan jatuh dari langit (gifted). Di sanalah, aktivitas intelektual (dan kerohanian) maneges, terus-menerus dilakukan.
            Pilihan tajuk kegiatan “Maneges Gunung--Temu Komunitas Lima Gunung”—sepenuhnya rumusan Ki Jowongso Sumimpen, nama sepuh Sutanto Mendut (Presiden Lima Gunung), dan kawan-kawannya untuk kegiatan yang akan meliputi pergelaran kesenian, diskusi kebudayaan, dan pameran yang berlangsung 17-23 Desember 2013 di Bentara Budaya Jakarta. 
Ki - Ka Khoirul (Irul) Pengerajin Topeng - Parmadi Dekorasi Panggung - Mami Kato Lukisan Kanvas - Nugroho Lukisan Kaca dan Kanvas - Sujono Topeng Saujan, Wayang Saujana, Lukisan Kanvas, Patung dan kerajunan lainnya - Pangadi (Ipang) Lukisan Kanvas  
Komunitas Lima Gunung adalah komunitas warga desa penggiat kesenian dan kebudayaan di sekitar Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yaitu kawasan Gunung Merapi (diketuai Sitras Anjilin), Merbabu (ada dua komunitas diketuai masing-masing Riyadi, dan Sujono), Andong (diketuai Supadi Haryanto),  yang sejak dua tahun lalu sekaligus sebagai Koordinator Komunitas Lima Gunung), Gunung Sumbing (ketuanya Ipang), dan Pegunungan Menoreh (ketua Ki Jowongso Sumimpen alias Tanto Mendut merangkap Presiden Lima Gunung).
Mengapa harus terus dirumuskan ulang, karena perubahan masyarakat dan lingkungan fisik alam semesta—adalah “mesin fenomena” yang akan menggiling dan memroses, serta mengendorkan, bahkan merontokkan sekrup-sekrup nilai, entitas, dan kecenderungan kebudayaan manusia. Nyaris tak pernah terjadi penguatan suatu lingkungan kebudayaan dan kebudayaan massa yang dominan berlangsung secara gratis tanpa effort. Pencipta dan pelaku kebudayaan bersangkutan, niscaya selalu merupakan agen-agen perubahan yang agresif merumuskan dirinya,  dan produktif menjawab tantangan dan mengantisipasi perubahan semesta tadi.
Budayawan Prof Dr Soedjatmoko, sudah mengingatkan tentang kesadaran kebudayaan itu sejak tahun 1980-an. Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984). Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984).
Rumusan mutakhir negeri China misalnya, ialah negeri yang berdiri di dua kaki. Kaki pertamanya ialah negara peradaban Konfusianistik yang berkeyakinan bahwa kemuliaan negara bergantung pada kesejahteraan rakyat penduduknya. Kaki kedua China, ialah negara bangsa kapitalistik, jawaban atas perubahan geopolitik dan interdependensi perekonomian global.
            Peringatan Soedjatmoko itu sinkron dengan hipotesa Arnold J Toynbee, sejarawan Inggris yang kondang: keberhasilan sebuah peradaban, ditentukan oleh bagaimana masyarakat merespon tantangan di bawah kepemimpinan creative minority. Peradaban akan runtuh jika kelompok pemimpin berhenti memberi respon kreatif. “Challenge and response” itulah kuncinya, kata Toynbee. Response  dalam tahapnya yang paling awal ialah kegiatan refleksi (mesu budi alias laku asketik) untuk masuk pada tahapan identifikasi, dan perumusan. 
            Refleksi kultural sebagai bangsa secara nasional yang dibayangkan Soedjatmoko, atau prosedur akademis Toynbee dalam rumusan “challence and response”, dalam bentuknya yang kontinyu namun kurang terstruktur sebenarnya berulang-ulang terlihat dalam praksis dan pergulatan Komunitas Lima Gunung di bawah Ki Jowongso Sumimpen ini, sejak komunitas ini bergerak secara lebih teroganisir tahun 2000 silam, disusul Festival Tiga Gunung (kemudian menjadi Lima Gunung) dilaksanakan pertama kali tahun 2002. Selain pergulatan tiada henti dalam berbagai cabang kesenian dan problem lokal di masing-masing komunitas mereka, para anggota Lima Gunung dengan moderator dan fasilitator Sutanto Mendut menurut kami telah memasuki tahapan refleksi dan laku asketik untuk mengidentifikasi, dan merumuskan ulang strategi komunikasi dan dialog dengan publik dan diri mereka sendiri. Kursus mengurus keterampilan manajemen pertunjukan, manajemen pertanian, seloroh dan diskusi perselingkungan dalam keluarga dan problem-problem sosial pedesaan, dialog agama, sampai kursus Bahasa Jepang, dan Bahasa Inggris.
            Meskipun—sekali lagi “silabus” kegiatan maneges (refleksi) dan gugatan atas diri sendiri dari Komunitas Lima Gunung—dilaksanakan dengan tanpa pola dan tanpa target--, dalam enam tahun terakhir misalnya etos kerja tepat waktu, dan kemandirian (pentas tanpa sponsor, mantenan menolak sumbangan), menolak kooptasi kesadaran dari penguasa, adalah sejumlah contoh pergulatan yang sungguh-sungguh diterjuni bersama oleh Komunitas Lima Gunung.
              Meski demikian, kami tak berharap Komunitas Lima Gunung sebagai pencipta dan pelaku kesenian yang telah ikut menentukan ciri khas suatu lingkungan budaya, bisa menjawab tantangan dan tuntutan kebangsaan baru lewat kreativitas mereka. Tantangan itu, boleh jadi bukan kewajiban Lima Gunung, sebab tidak ada yang wajib kecuali negara yang harus melakukannya.
            Yang ingin kami garis bawahi, Komunitas Lima Gunung, dengan kegiatan kebudayaan mereka jalankan telah mempercepat dialektika sistem nilai, pandangan hidup, bahkan konsep artistik  yang sebenarnya telah mereka miliki secara begenerasi di lingkup mereka masing-masing. Percepatan dialektika itulah maneges: , mempertanyakan jatidiri dalam refleksi yang modelnya ialah ekspresi kesenian, dan praktek kehidupan nyata dengan panduan nalar dan wawasan yang kreatif.
            Hipotesa Toynbee dan Soedjamoko, boleh jadi terus dan sedang berlangsung di Komunitas Lima Gunung yang tak terduga ini. Gunung lain yang ikut nyumbang berdialektika, ialah Gunung Fujiyama di Jepang—rumah budaya Mami Kato (istri Sutanto Mendut yang berasal dari Jepang) yang tak mau kalah bergulat dan berkiprah di desa-desa Magelang itu..
                                                                       
                                                                        Jakarta, 17 Desember 2013
                                                                        Hariadi Saptono
                                                                        Direktur Eksekutif Bentara Budaya   

Jumat, 19 April 2013

Kesenian itu...

Wenti Nuryanti, M.Pd
Seni dalam Komunitas Lima Gunung, kendati berakar pada bentuk-bentuk kesenian rakyat, namun tidak terbelengggu pada pakem-pakem dasar. Bukan saja karena dalam komunitas ini juga bercokol para akademisi kesenian, seperti Wenti Nuryanti Dosen pendidikan seni tari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rakhmad Murti Waskito Dosen pendidikan seni tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, Noviana Ayomsari mahasiswi Intitut Seni Indonesia, Surakarta yang acapkali juga melakukan pengembangan-pengembangan dari pakem yang ada, namun juga lingkungan kreatif yang ditanamkan Sutanto Mendut memungkinkan para pelaku kesenian di komunitas itu bebas menabrak batas-batas kesadaran kreatif, atau merdeka. setahun belakangan ini Sutanto bahkan dengan sadar mencoba memasukan lingkungan baru yang di serap dari genre seni yang berbeda dari
Penyair Dorothea Rosa Herliyani berbaur di komunitas ini dan bagi para seniman yang sesungguhnya tak asing denga puisi yang mereka serap dari tembang dan sastra jawa hal ini adalah keasyikan baru yang tanpa rikuh dengan mudah mereka selami. lingkungan mereka selama ini yaitu puisi.

Rakhmad Murti Waskito                                                                             Noviana Ayomsari

Apa yang akan terjadi dengan tahun-tahun mendatang, tentu merupakan bagian yang sungguh menarik untuk di tunggu. Apa sesungguhnya komunitas seniman Lima Gunung itu? ini pertanyaan yang selalu muncul selama sekitar 15 tahun para seniman

Rabu, 17 April 2013

Bebrayan Lintas Dunia

Suran di Ponpes API Tegalrejo, Magelang
Komunitas yang mayoritas petani ini berkesenian tanpa memandang apa yang mereka lakukan sebagai laku sakral. karena itu mereka tidak pernah berbatasan dengan sekat apapun untuk mengekspresikan keseniannya dengan total. mereka bisa tampil di depan istana presiden dan monumen kenegaraan, berbaur dengan kalangan pesantren seperti yang sering mereka lakukan di Pondok Pesantren API Tegalrejo milik Gus Yusuf. Kesenian mereka juga menjadi menu dalam even besar di acara 100 tahun Seminari,
Mertoyudan, di saat lain tampil juga di pembukaan gedung Salihara yang mengundang tokoh-tokoh seniman dan budayawan. Secara rutin tiap momen tahun baru, misalnya sudah jadi keharusan mereka pentas di Amanjiwo Resort, Borobudur. Beberapa event tingkat Internasional yang pernah diikuti :

Borobudur International Festival, Borobudur 2009
- Pertemuan APD (Asian People Dialogue) di Cibubur, Jakarta tahun 2002 pesertanya dari negara Thailand, India, Srilangka, Malaysia, Philipna, Nepal, Pakistan, Jepang, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Indonesia.
- Pentas Kesenian Gelung Gunung pada Solo International Ethnic Music Festival (SIEM) pada tahun 2008 di Benteng Vastenburg pesertanya seperti Amerika Latin, Afrika, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Barat, Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Solo International Performing Art, Solo 2010
- Simfoni Gunung ikut menutup pergelaran Borobudur International Festival (BIF) 2009. tujuh negara yang terlibat adalah India, China, Laos, Thailand, Polandia, Jepang, dan Korea Selatan.
- Solo International Performing Art (SIPA) 2009 di dalam acara ini Komunitas Lima Gunung mengikutinya dua kali yang pertama Komunitas Atas Bumi Bawah Langit (ABBAL), Muntilan. Negara peserta SIPA Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Philipina, Denmark, Singapura, Jepang, dan Venezuela dan untuk yang kedua Solo International Performing Art (SIPA) 2010 Komunitas Wargo Budoyo, Magelang peserta dari luar negeri melibatkan 7 negara yaitu Austria, Malaysia, Jerman, Timor leste, Mexico, India dan Jepang.


Festival Penyair Internasional Indoesia (FPPI), Gejayan, Merbabu 2012


Beberapa event Sastra seperti Festival Penyair Internasional Indoesia (FPPI) 2012, Borobudur Writers and Cultural Festival Internasional Indonesia, Komunitas Lima Gunung bukan sekedar kumpulan seniman yang bergumul dengan seni tradisional mereka boleh jadi berangkat dari bentuk yang pakem, namun berkat kecerdasan mereka maka berbagai pengembangan dilakukan bersamaan dengan keharusan merespon momentum. Dan mereka tidak sekedar merespon, tetapi kultur bebrayan mereka yang cenderung dekat dengan olah pikir yang sederhana namun 'Jero" (dalam) memungkinkan mereka dengan cepat mampu membangun wacana makna yang terkadang mengejutkan dalam ekspresi kesenian mereka, tak heran komunitas ini mampu menembus berbagi kalangan dari penonton awam sampai penonton level tinggi. para seniman mampu berbaur dengan kalangan apapun, dan mereka tak grogi untuk menyapaikan pertanyaan maupun pertanyaan cerdas.
Kultur bebrayan model masyarakat  desa pegunungan dan kesadaran untuk menjalani laku bergaul yang terus menerus didesak pertumbuhan gaya hidup terasa menciptakan atsmofer berkehidupan budaya yang hangat, dengan prinsip "luru Kabahagyan" (mencari kebahagiaan).
Bebrayan merupakan sebuah atmosfer pergaulan yang mengandung filosofi yang dalam tentang persaudaraan. Inilah yang tidak sekedar di bentuk di komunitas ini, melainkan sudah ada ketika niat bebrayan itu masih dalam angan-angan. Seni kadang menjadi tidak terlalu "penting" ketika kebutuhan untuk beberayan itu menggerakan hasrat untuk saling bertemu dan berkumpul. Namun ketika respon terhadap tanggapan-tanggapan memainkan kesenian itu tiba waktunya, secara bawah sadar "manajemen universal" tetap berlaku, dan tidak menjadi sistem yang berlaku ketat. Sebab yang terjelas adalah bahwa laku berkesenian itu di depan publik menjadi suatu keharusan yang harus di pertanggungjawabkan.
Boleh jadi, inilah model komunitas kesenian masyarakat pedesaan yang beraroma modern dalam arti lentur oleh pergerakan jaman dan mampu mencari tempat yang tepat ditengah arus kebudayaan global. Jangan-jangan, ini satu-satunya di Indonesia. 





Nanyang Technological University (NTU), Singapore. College of Humanities, Arts, & Social Sciences. School of Art, Design and Media
Mike Burns (Australia) mempertunjukan keahliannya bermain gamelan dan gitar di Studio Mendut  Foto: Kompas/Regina Rukmorini