Identitas sebuah bangsa dirumuskan, dan harus terus-menerus dirumuskan
ulang dalam pergulatan. Ia bukan jatuh dari langit (gifted). Di sanalah, aktivitas intelektual (dan kerohanian) maneges, terus-menerus dilakukan.
Pilihan tajuk kegiatan
“Maneges Gunung--Temu Komunitas Lima Gunung”—sepenuhnya
rumusan Ki Jowongso Sumimpen, nama sepuh Sutanto Mendut (Presiden Lima Gunung),
dan kawan-kawannya untuk kegiatan yang akan meliputi pergelaran kesenian,
diskusi kebudayaan, dan pameran yang berlangsung 17-23 Desember 2013 di Bentara
Budaya Jakarta.
Komunitas Lima Gunung adalah komunitas warga desa
penggiat kesenian dan kebudayaan di sekitar Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
yaitu kawasan Gunung Merapi (diketuai Sitras Anjilin), Merbabu (ada dua
komunitas diketuai masing-masing Riyadi, dan Sujono), Andong (diketuai Supadi
Haryanto), yang sejak dua tahun lalu
sekaligus sebagai Koordinator Komunitas Lima Gunung), Gunung Sumbing (ketuanya
Ipang), dan Pegunungan Menoreh (ketua Ki Jowongso Sumimpen alias Tanto Mendut
merangkap Presiden Lima Gunung).
Mengapa harus terus dirumuskan ulang, karena perubahan
masyarakat dan lingkungan fisik alam semesta—adalah “mesin fenomena” yang akan
menggiling dan memroses, serta mengendorkan, bahkan merontokkan sekrup-sekrup
nilai, entitas, dan kecenderungan kebudayaan manusia. Nyaris tak pernah terjadi
penguatan suatu lingkungan kebudayaan dan kebudayaan massa yang dominan
berlangsung secara gratis tanpa effort.
Pencipta dan pelaku kebudayaan bersangkutan, niscaya selalu merupakan agen-agen
perubahan yang agresif merumuskan dirinya, dan produktif menjawab tantangan dan
mengantisipasi perubahan semesta tadi.
Budayawan Prof Dr Soedjatmoko, sudah mengingatkan tentang
kesadaran kebudayaan itu sejak tahun 1980-an. Soedjatmoko secara eksplisit
merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan
periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi,
1984). Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu
diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety
Heraty Noerhadi, 1984).
Rumusan mutakhir negeri China misalnya, ialah
negeri yang berdiri di dua kaki. Kaki pertamanya ialah negara peradaban
Konfusianistik yang berkeyakinan bahwa kemuliaan negara bergantung pada
kesejahteraan rakyat penduduknya. Kaki kedua China, ialah negara bangsa
kapitalistik, jawaban atas perubahan geopolitik dan interdependensi
perekonomian global.
Peringatan Soedjatmoko itu
sinkron dengan hipotesa Arnold J Toynbee, sejarawan Inggris yang kondang: keberhasilan sebuah peradaban,
ditentukan oleh bagaimana masyarakat merespon tantangan di bawah kepemimpinan creative minority. Peradaban akan runtuh jika kelompok pemimpin berhenti memberi respon kreatif. “Challenge
and response” itulah kuncinya, kata Toynbee. Response dalam tahapnya yang paling awal ialah kegiatan
refleksi (mesu budi alias laku asketik)
untuk masuk pada tahapan identifikasi, dan perumusan.
Refleksi kultural sebagai
bangsa secara nasional yang dibayangkan Soedjatmoko, atau prosedur akademis
Toynbee dalam rumusan “challence and
response”, dalam bentuknya yang kontinyu namun kurang terstruktur
sebenarnya berulang-ulang terlihat dalam praksis dan pergulatan Komunitas Lima
Gunung di bawah Ki Jowongso Sumimpen ini, sejak komunitas ini bergerak secara
lebih teroganisir tahun 2000 silam, disusul Festival Tiga Gunung (kemudian
menjadi Lima Gunung) dilaksanakan pertama kali tahun 2002. Selain pergulatan
tiada henti dalam berbagai cabang kesenian dan problem lokal di masing-masing
komunitas mereka, para anggota Lima Gunung dengan moderator dan fasilitator
Sutanto Mendut menurut kami telah memasuki tahapan refleksi dan laku asketik
untuk mengidentifikasi, dan merumuskan ulang strategi komunikasi dan dialog
dengan publik dan diri mereka sendiri. Kursus mengurus keterampilan manajemen
pertunjukan, manajemen pertanian, seloroh dan diskusi perselingkungan dalam
keluarga dan problem-problem sosial pedesaan, dialog agama,
sampai kursus Bahasa Jepang, dan Bahasa Inggris.
Meskipun—sekali lagi
“silabus” kegiatan maneges (refleksi)
dan gugatan atas diri sendiri dari Komunitas Lima Gunung—dilaksanakan dengan
tanpa pola dan tanpa target--, dalam enam tahun terakhir misalnya etos kerja
tepat waktu, dan kemandirian (pentas tanpa sponsor, mantenan menolak
sumbangan), menolak kooptasi kesadaran dari penguasa, adalah sejumlah contoh
pergulatan yang sungguh-sungguh diterjuni bersama oleh Komunitas Lima Gunung.
Meski demikian, kami tak berharap Komunitas
Lima Gunung sebagai pencipta dan pelaku kesenian yang telah ikut menentukan
ciri khas suatu lingkungan budaya, bisa menjawab tantangan dan tuntutan
kebangsaan baru lewat kreativitas mereka. Tantangan itu, boleh jadi bukan
kewajiban Lima Gunung, sebab tidak ada yang wajib kecuali negara yang harus
melakukannya.
Yang ingin kami garis
bawahi, Komunitas Lima Gunung, dengan kegiatan kebudayaan mereka jalankan telah
mempercepat dialektika sistem nilai, pandangan hidup, bahkan konsep
artistik yang sebenarnya telah mereka
miliki secara begenerasi di lingkup mereka masing-masing. Percepatan dialektika
itulah maneges: , mempertanyakan
jatidiri dalam refleksi yang modelnya ialah ekspresi kesenian, dan praktek
kehidupan nyata dengan panduan nalar dan wawasan yang kreatif.
Hipotesa Toynbee dan
Soedjamoko, boleh jadi terus dan sedang berlangsung di Komunitas Lima Gunung
yang tak terduga ini. Gunung lain yang ikut nyumbang berdialektika, ialah
Gunung Fujiyama di Jepang—rumah budaya Mami Kato (istri Sutanto Mendut yang
berasal dari Jepang) yang tak mau kalah bergulat dan berkiprah di desa-desa
Magelang itu..
Jakarta,
17 Desember 2013
Hariadi
Saptono
Direktur
Eksekutif Bentara Budaya
sukses selalu untuk semua agenda Komunitas Lima Gunung.....salam
BalasHapus