Minggu, 15 Desember 2013

Maneges Gunung, Mempercepat Dialektika Toynbee



             Identitas sebuah bangsa dirumuskan, dan harus terus-menerus dirumuskan ulang dalam pergulatan. Ia bukan jatuh dari langit (gifted). Di sanalah, aktivitas intelektual (dan kerohanian) maneges, terus-menerus dilakukan.
            Pilihan tajuk kegiatan “Maneges Gunung--Temu Komunitas Lima Gunung”—sepenuhnya rumusan Ki Jowongso Sumimpen, nama sepuh Sutanto Mendut (Presiden Lima Gunung), dan kawan-kawannya untuk kegiatan yang akan meliputi pergelaran kesenian, diskusi kebudayaan, dan pameran yang berlangsung 17-23 Desember 2013 di Bentara Budaya Jakarta. 
Ki - Ka Khoirul (Irul) Pengerajin Topeng - Parmadi Dekorasi Panggung - Mami Kato Lukisan Kanvas - Nugroho Lukisan Kaca dan Kanvas - Sujono Topeng Saujan, Wayang Saujana, Lukisan Kanvas, Patung dan kerajunan lainnya - Pangadi (Ipang) Lukisan Kanvas  
Komunitas Lima Gunung adalah komunitas warga desa penggiat kesenian dan kebudayaan di sekitar Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yaitu kawasan Gunung Merapi (diketuai Sitras Anjilin), Merbabu (ada dua komunitas diketuai masing-masing Riyadi, dan Sujono), Andong (diketuai Supadi Haryanto),  yang sejak dua tahun lalu sekaligus sebagai Koordinator Komunitas Lima Gunung), Gunung Sumbing (ketuanya Ipang), dan Pegunungan Menoreh (ketua Ki Jowongso Sumimpen alias Tanto Mendut merangkap Presiden Lima Gunung).
Mengapa harus terus dirumuskan ulang, karena perubahan masyarakat dan lingkungan fisik alam semesta—adalah “mesin fenomena” yang akan menggiling dan memroses, serta mengendorkan, bahkan merontokkan sekrup-sekrup nilai, entitas, dan kecenderungan kebudayaan manusia. Nyaris tak pernah terjadi penguatan suatu lingkungan kebudayaan dan kebudayaan massa yang dominan berlangsung secara gratis tanpa effort. Pencipta dan pelaku kebudayaan bersangkutan, niscaya selalu merupakan agen-agen perubahan yang agresif merumuskan dirinya,  dan produktif menjawab tantangan dan mengantisipasi perubahan semesta tadi.
Budayawan Prof Dr Soedjatmoko, sudah mengingatkan tentang kesadaran kebudayaan itu sejak tahun 1980-an. Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984). Soedjatmoko secara eksplisit merumuskannya “refleksi atas identitas itu diperlukan secara nasional dan periodik” (lihat Aku dalam Budaya, Toety Heraty Noerhadi, 1984).
Rumusan mutakhir negeri China misalnya, ialah negeri yang berdiri di dua kaki. Kaki pertamanya ialah negara peradaban Konfusianistik yang berkeyakinan bahwa kemuliaan negara bergantung pada kesejahteraan rakyat penduduknya. Kaki kedua China, ialah negara bangsa kapitalistik, jawaban atas perubahan geopolitik dan interdependensi perekonomian global.
            Peringatan Soedjatmoko itu sinkron dengan hipotesa Arnold J Toynbee, sejarawan Inggris yang kondang: keberhasilan sebuah peradaban, ditentukan oleh bagaimana masyarakat merespon tantangan di bawah kepemimpinan creative minority. Peradaban akan runtuh jika kelompok pemimpin berhenti memberi respon kreatif. “Challenge and response” itulah kuncinya, kata Toynbee. Response  dalam tahapnya yang paling awal ialah kegiatan refleksi (mesu budi alias laku asketik) untuk masuk pada tahapan identifikasi, dan perumusan. 
            Refleksi kultural sebagai bangsa secara nasional yang dibayangkan Soedjatmoko, atau prosedur akademis Toynbee dalam rumusan “challence and response”, dalam bentuknya yang kontinyu namun kurang terstruktur sebenarnya berulang-ulang terlihat dalam praksis dan pergulatan Komunitas Lima Gunung di bawah Ki Jowongso Sumimpen ini, sejak komunitas ini bergerak secara lebih teroganisir tahun 2000 silam, disusul Festival Tiga Gunung (kemudian menjadi Lima Gunung) dilaksanakan pertama kali tahun 2002. Selain pergulatan tiada henti dalam berbagai cabang kesenian dan problem lokal di masing-masing komunitas mereka, para anggota Lima Gunung dengan moderator dan fasilitator Sutanto Mendut menurut kami telah memasuki tahapan refleksi dan laku asketik untuk mengidentifikasi, dan merumuskan ulang strategi komunikasi dan dialog dengan publik dan diri mereka sendiri. Kursus mengurus keterampilan manajemen pertunjukan, manajemen pertanian, seloroh dan diskusi perselingkungan dalam keluarga dan problem-problem sosial pedesaan, dialog agama, sampai kursus Bahasa Jepang, dan Bahasa Inggris.
            Meskipun—sekali lagi “silabus” kegiatan maneges (refleksi) dan gugatan atas diri sendiri dari Komunitas Lima Gunung—dilaksanakan dengan tanpa pola dan tanpa target--, dalam enam tahun terakhir misalnya etos kerja tepat waktu, dan kemandirian (pentas tanpa sponsor, mantenan menolak sumbangan), menolak kooptasi kesadaran dari penguasa, adalah sejumlah contoh pergulatan yang sungguh-sungguh diterjuni bersama oleh Komunitas Lima Gunung.
              Meski demikian, kami tak berharap Komunitas Lima Gunung sebagai pencipta dan pelaku kesenian yang telah ikut menentukan ciri khas suatu lingkungan budaya, bisa menjawab tantangan dan tuntutan kebangsaan baru lewat kreativitas mereka. Tantangan itu, boleh jadi bukan kewajiban Lima Gunung, sebab tidak ada yang wajib kecuali negara yang harus melakukannya.
            Yang ingin kami garis bawahi, Komunitas Lima Gunung, dengan kegiatan kebudayaan mereka jalankan telah mempercepat dialektika sistem nilai, pandangan hidup, bahkan konsep artistik  yang sebenarnya telah mereka miliki secara begenerasi di lingkup mereka masing-masing. Percepatan dialektika itulah maneges: , mempertanyakan jatidiri dalam refleksi yang modelnya ialah ekspresi kesenian, dan praktek kehidupan nyata dengan panduan nalar dan wawasan yang kreatif.
            Hipotesa Toynbee dan Soedjamoko, boleh jadi terus dan sedang berlangsung di Komunitas Lima Gunung yang tak terduga ini. Gunung lain yang ikut nyumbang berdialektika, ialah Gunung Fujiyama di Jepang—rumah budaya Mami Kato (istri Sutanto Mendut yang berasal dari Jepang) yang tak mau kalah bergulat dan berkiprah di desa-desa Magelang itu..
                                                                       
                                                                        Jakarta, 17 Desember 2013
                                                                        Hariadi Saptono
                                                                        Direktur Eksekutif Bentara Budaya